26 Agustus 2008

BERAGAMA TANPA KESALEHAN SOSIAL



Selama kurang lebih satu dakade berjalan, demokrasi liberal di Indonesia mencetuskan signifikansi yang tak sederhana terhadap kehidupan beragama (baca: beragama Islam). Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap segenap upaya yang dikerahkan demi menyemarakkan kehidupan beragama di Tanah Air, ada catatan kritis yang harus dikemukakan secara jujur. Bahwa, atmosfer demokrasi liberal yang pada akhirnya mewarnai tata kelola masyarakat dan pemerintahan telah melahirkan situasi keberagamaan tanpa kesalehan sosial. Ternyata, keniscayaan untuk menyelesaikan perkara pelik ini sejalan dengan masih besarnya harapan agar nilai-nilai luhur agama mampu memberi sumbangan pada lahirnya kebudayaan dan peradaban humanistik-transendental. Maka, dengan sendirinya, memang harus ada keterbukaan menerima kritik-kritik tajam terhadap realisme beragama tanpa kesalehan sosial. Pemaparan berikut ini merupakan potret terhadap fenomena beragama tanpa kesalehan sosial.
Pertama, substansi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1428 Hijriah di Masjid Agung An-Nur, Pekanbaru, Riau, 11 Agustus 2007, menyinggung persoalan besar beragama tanpa kesalehan sosial. Kata SBY dalam pidatonya itu, kegiatan keagamaan yang makin marak diharapkan menjadi jalan yang baik untuk menata kehidupan individu dan kasalehan sosial. Atas dasar ini, menurut SBY, Indonesia sebagai bangsa berkesempatan luas melanjutkan proses perjalanan menuju pada pelataran kehidupan yang lebih baik. Dengan kesalehan sosial pula, maka fondasi iman dan takwa, kebesaran jiwa, dan kesucian nurani dalam kehidupan, mampu melahirkan pandangan yang optimistis menatap masa depan (Kompas, 12 Agustus 2007, hlm. 1).
Seandainya keberagamaan benar-benar menciptakan resultan positif berupa kesalehan sosial, mungkinkah Presiden SBY merasa perlu melontarkan pernyataan seperti mengemuka di Masjid An-Nur itu? Jawabnya sangat jelas. “Kesalehan sosial” telah sedemikian rupa mengkristal semata sebagai nomenklatur lantaran kesadaran beragama telah kehilangan sukma transformatifnya. Kesadaran beragama bangsa ini berhenti sekadar sebagai pemanis kata untuk pencitraan di hadapan orang banyak. Keberagamaan kita bukanlah titik tolak terciptanya kehidupan yang lebih baik pada tingkat kolektif berlandaskan kuatnya penguasaan akan ilmu pengetahuan. Itulah mengapa, Indonesia sebagai bangsa makin compang-camping eksistensinya.
Kedua, perkembangan berbagai segi kehidupan pada fase demokrasi liberal yang kini kian teralienasi dari misi profetik agama justru berlangsung pada level perilaku. Tegaknya keadilan dan kemakmuran di muka bumi merupakan cita-cita luhur yang diusung oleh agama (lihat Al-Qur’an, 4:135, 6:115, 7:8, 6:29, 6:159, 6:181, 16:76 dan 57:25). Namun sebagai sistem nilai, misi profetik tegaknya keadilan itu tergerus oleh intrusi pragmatisme, materialisme dan hedonisme dalam berbagai tindakan praksis.
Tragisnya, semua perkara ini dikamuflase oleh semarak kegiatan agama. Maka, jangan heran jika figur-figur birokrat dan politikus yang diidentifikasi sebagai koruptor, justru secara repetitif melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, ke Makkah dan Madinah. Jangan heran pula jika kaum selebriti yang menjadi simbol dekadensi moral itu tiba-tiba memperlihatkan dirinya sebagai kaum bertakwa selama bulan suci Ramadan. Inilah gambaran tentang paradoks keagamaan di Tanah Air. Sebagai konsekuensinya, mustahil berharap bakal muncul keadilan dan kemakmuran di muka bumi dari cara hidup beragama semacam itu. Malah, inilah akar sesungguhnya bagi munculnya problema beragama tanpa kesalehan sosial. Apa yang kemudian penting ditegaskan dari kenyataan itu adalah semarak kehidupan beragama yang tak serta-merta berimplikasi pada kuatnya upaya-upaya mandiri—disertai kejujuran yang mendalam—untuk melakukan koreksi diri.
Ketiga, kecenderungan untuk menafsirkan secara sempit pesan-pesan keagamaan semata sebagai kerangka psiko-terapi penyelesaian masalah kemanusiaan, justru melahirkan sejumlah pertanyaan tentang misi profetik agama itu sendiri. Seorang tokoh yang tak henti-hentinya berbicara tentang Manajemen Qalbu, misalnya, hanya mendorong semarak kehidupan beragama pada upayaupaya pembersihan hati pada tingkat individual. Pada waktu bersamaan, upaya ini menegasikan kaharusan pembersihan sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dari ketamakan dan kerakusan yang mengambil titik tolak dari dominasi dan hegemoni. Dengan fokus pada psiko-terapi, agama direduksi perannya dalam hal membangun kesadaran kritis terhadap kejahatan sistem.
Kepincangan inilah yang kemudian menggulirkan pesona individual kepada tokoh pencetus Manajemen Qalbu. Semarak kehidupan beragama lantas gagal mendorong timbulnya reformasi dan reformulasi sistem kehidupan. Apa boleh buat, kesalehan sosial yang didengungkan berpijak pada kesadaran purba dalam beragama: pembersihan hati manusia yang tak memiliki hubungan organik dengan strukturalisme sosial, ekonomi dan politik.
Tak bisa dipungkiri, kesalehan sosial melekat pada metode pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan. Mulia tidaknya tindakan manusia diverifikasi sebagai kelanjutan logis dari kesadaran beragama. Jika agama berbicara tentang korupsi sebagai nista yang terkutuk dan meluluhlantakkan kemanusiaan, maka semarak kehidupan beragama merupakan gerakan total eliminasi kultur dan jejaring kekuasaan yang korup. Sayangnya, keberagamaan merupakan unikum yang berdiri di luar tindakan praktis. Seorang yang sangat taat beribadah serta-merta lalu dikenal kencang bergerak di jalur korupsi. Pada satu sisi, perasaan tak bersalah lantaran telah menumbuhsuburkan korupsi memiliki simbolisasinya yang begitu mencolok. Pada sisi lain, pemberian karitas untuk keperluan pembangunan rumah-rumah ibadah serta penyantunan anak yatim piatu dan kaum fakir miskin nyata-nyata menggunakan uang dari hasil korupsi. Bukankah ini berarti telah timbul kekacauan konseptual dalam mempersambungkan peribadatan agama dan tindakan praktis?
Tentu, fenomena beragama tanpa kesalehan sosial harus ditemukan sebab fundamentalnya pada antropologisme manusia Indonesia. Ketika keberagamaan terjebak ke dalam narsisme, maka ritualitas yang semula ditengarai sakral terjerembab ke dalam problema besar kekosongan makna.
Pada akhirnya, praksis peribadatan tak lebih hanyalah pemenuhan terhadap tuntutan yang bersifat legalistik formal. Narsisme inilah yang dalam kerangka konseptual Islamic studies disebut riya’ dan ujub. Kita menemukan di sini keberagamaan manusia yang penuh pamrih, karena diabdikan untuk melakukan pemujaan terhadap diri sendiri.
Keberagamaan lalu bukan kepasrahan agung dengan disertai oleh pengorbanan diri demi tegaknya humanisme yang transendental. Narsisme telah menyeret keberagamaan manusia Indonesia pada cara pikir kalkulatif-matematis menurut takaran pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Maka, keberagamaan manusia Indonesia mutlak untuk dibersihkan dari tendensi narsisme. Gagal menyikat habis narsisme, sama saja maknanya dengan membuka koridor luas bagi pengejawantahan lebih lanjut beragama tanpa kesalehan sosial. Dengan kata lain, kian terang benderang problema beragama tanpa kesalehan sosial, tatkala narsisme mengutuhkan diri sebagai tindakan yang berulang-ulang.
Sebab fundamental lainnya timbulnya masalah beragama tanpa kesalehan sosial adalah tumpang tindihnya kepentingan oleh determinasi material. Jujur harus dikatakan, semarak kehidupan beragama kian dikooptasi oleh logika kapitalistik. Televisi, sedemikian rupa berkembang sebagai medium komunikasi perluasan semarak kehidupan beragama. Sayangnya, medium komunikasi ini hadir dengan membawa serta determinasi material karena harus menyesuaikan diri dengan logika kapitalisme. Tak bisa tidak, dakwah keagamaan lantas bergeser menjadi semacam komoditas. Itulah mengapa semakin tak ada kedalaman perspektif pada dakwah kegamaan di televisi. Para juru dakwah yang biasa manggung di televisi malah kemudian bermetamorfosis menjadi selebriti. Agama sebagai kesadaran kritis untuk meniadakan kebodohan dan keterbelakangan lalu kehilangan kedigdayaannya pada totalitas medium penyiaran televisi.
Problema beragama tanpa kesalehan sosial lalu menjadi kian tak terbendung di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di planet bumi ini. Sejurus dengan itu, Indonesia pun tetap stagnan sebagai negara bangsa yang korup dan terbelakang.? [ANWARI WMK]